Aya Afza
4 Januari pukul 22:39 ·
Angin dingin berembus kencang seiring salju yang berjatuhan dari langit. Hajime memutuskan untuk mengunjungi Keiko. Dan Keiko menyambut kedatangannya dengan ramah.
"Silakan masuk, aku buatkan teh hangat."
Hajime tersenyum "Terima kasih."
Hajime melangkah masuk. Ia meletakkan mantel bulunya di sandaran kursi, lalu duduk. Kei membuatkan dua cangkir teh dan duduk di hadapannya. Wajah gadis itu terlihat letih, tatapannya masih kosong. Hajime bermaksud menyadarkan Keiko, setelah beberapa waktu lamanya terlihat sangat menyedihkan.
"Kei, boleh aku bicara tentang Kenshin?"
Keiko mengangkat wajahnya. "Apa yang ingin kau katakan?"
"Bahwa kau tak bisa terus-menerus seperti ini."
"Ini akan berlalu, Hajime."
Ucap Kei lemah.
"Ini akan berlalu jika kau berhenti mendramatisasi perasaanmu."
"Kau tidak tahu bagaimana rasanya."
Hajime tertawa, sinis.
"Oh, kau menguji perasaanku soal kasih tak sampai? Jangan memulainya, Kei. Yang kurasakan melebihi apa yang kaurasa."
Kei menghela napas. Menatap cangkir teh yang belum ia sentuh.
"Bukankah kenyataan telah menjawab bahwa seharusnya kalian tidak bersama?" Tanya Hajime.
Kei melempar pandangan ke luar. Perlahan, wajahnya memerah.
"Sudahlah, aku tidak ingin membagi kepedihan ini. Biarkan aku sendiri dalam masalah ini, dan jangan pernah bawa-bawa masalah ini. Kata-katamu itu membuatku suntuk."
"Kau tidak bisa selamanya berdiri di tempat yang sama. Waktu terus berjalan, dan bumi terus berputar. Katakan apa salahku, Kei? Salahkan aku karena terlalu mencintaimu? Bagaimana reaksimu jika kukatakan akan memberikan seluruh hidupku hanya untukmu? Apakan kau akan diam membatu?"
Hening, Kei sendiri pun tak tahu harus menjawab apa. Ia sadar, Hajime lah yang selama ini selalu ada untuknya, bahkan Rin pun selalu datang terlambat dari Hajime.
"Aku datang kepadamu bukan untuk menggantikan posisi Kenshin. Aku hanya ingin mencintai dengan tulus, apa adanya, jujur."
Kei termagu. Hajime memandang Keiko.
Sunyi.
*****
Salju masih membungkus malam. Jam digital menunjukkan angka 20.00. Kei belum ingin menutup layar laptopnya. Gadis itu sedang gelisah. Di pikirannya bergelayut ucapan-ucapan Hajime yang berusaha mendobrak benteng pertahanannya. Kei bangkit meninggalkan kehangatan ranjangnya. Ia duduk di ceruk jendela. Sinar matanya meredup menatap butiran salju di luar sana.
Kei menekan tombol play di CD player. Sayup-sayup suara khas Shin Jae dalam lagunya "tears are falling" keluar dari speaker.
Dingin tiba-tiba menghampiri tubuh ringkihnya. Ia menekuk kedua kaki merapat ke dada. Sebelah tangannya memeluk kaki, tangan yang lain mengukir sebuah nama di kaca jendela yang mulai mengembun.
Ken ....
Ia ingin melepas namun bayangan Ken selalu muncul tiba-tiba dalam radius pandangannya.
Kei masih termenung di ceruk jendela. Belum selesai Shin Jae menamatkan nyanyiannya, ketika bunyi denting dari gadget membuyarkan lamunannya. Ada email masuk. Kei meraih gadgetnya. Dibukanya inbox email. Dibacanya baris-baris pesan yang ditulis seseorang untuknya.
Dear Kei
Semestinya kita tak perlu jatuh cinta, jika akan patah hati setelahnya.
Tak perlu menantang hujan, jika pelangi tak pernah datang. Pernah mendengar itu? Kau melupakan hujan, melupakan pelangi yang sebenarnya akan datang jika matahari cepat-cepat melakukan pembiasan. Ah, konyol. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu waktu itu.
#ckleak...
Tanpa Kei sadari ada seseorang yang tiba-tiba saja membuka pintu kamarnya.
"Kau belum melupakan perasaanmu yang kau ibaratkan sebagai air terjun itu bukan?"
Kei baru menyadari kedatangan seseorang begitu mendengarnya mengucapkan sesuatu. Ia menoleh. Dalam sekejap tubuhnya terguncang. Kei membekap mulutnya berusaha meredam suara isaknya. Ia berdiri, euforianya tercipta bagaikan mimpi. Ia tak percaya Ken kembali.
"Ken ...." Senyuman yang tak pernah berkurang seinci pun itu, suaranya, bualan konyolnya, tawanya, semua darinya kembali hadir dalam tatap nyata yang tak pernah ia sangka sebelumnya.
"Kk ... Kau..."
Kenshin, lelaki bersweater abu dengan aksen putih di lengannya, dan levis putih itu tersenyum lebar merentangkan kedua tangannya.
"Ya, aku kembali."
Antara mimpi dan kenyataan bercampur menjadi satu. Terangkai dalam 'dejavu.
Kei tak ingin kembali kehilangan meski saat ini mungkin yang ia alami adalah mimpi. Kei tak akan melepasnya lagi.
"Bukankah kau sudah ...,"
"Mati?" Kenshin terkekeh kecil, diacak-acaknya rambut Kei yang telah lama hilang dari indra perabanya.
"Buktinya, aku masih ada"
"Lalu ...."
"Kau percaya pada mereka?" Kei tertawa sumbang. Ia merasa bodoh mengingat tindakannya yang sangat mudah mempercayai ucapan Hajime dan Rin sebelum membuktikannya.
"Maaf, aku tak sempat membalas email-emailmu."
"Tak masalah, asal kau membayarnya semuanya"
Malam itu Ken mengajak Kei berjalan-jalan melepas kerinduan. Kei memandangi pesona lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung di malam itu. Rasanya seperti kerlap-kerlip yang sering ia lihat saat menatap Kenshin.
Perbincangan menghangatkan suasana, melupakan salju yang berkoloborasi dengan embusan angin dinginnya. Malam itu terbayar sudah pahitnya perjalanan keduanya dalam merajut sebuah rasa. Kini Kei tak takut lagi untuk menantang hujan, karena tak selamanya pelangi dapat memberikan keindahan. Ia yakin, ada keindahan lain selain pelangi di balik hujan. Begitu pun dengan Kenshin yang tak pernah menyalahkan cinta sesudah pun sebelum mengenalnya. Ia yakin cinta akan selalu membuatnya bahagia.
Kenshin dan Keiko larut dalam euforia yang telah lama tak menjamah keduanya.
#The_End ....
Salatiga, 04 January 17
At 10:37 pm,
#PS: "Bersamaan dengan berakhirnya cerita. Akan kuakhiri juga semuanya .... Tentang rasa,"
*Faqih Nazhat Afza
4 Januari pukul 22:39 ·
Angin dingin berembus kencang seiring salju yang berjatuhan dari langit. Hajime memutuskan untuk mengunjungi Keiko. Dan Keiko menyambut kedatangannya dengan ramah.
"Silakan masuk, aku buatkan teh hangat."
Hajime tersenyum "Terima kasih."
Hajime melangkah masuk. Ia meletakkan mantel bulunya di sandaran kursi, lalu duduk. Kei membuatkan dua cangkir teh dan duduk di hadapannya. Wajah gadis itu terlihat letih, tatapannya masih kosong. Hajime bermaksud menyadarkan Keiko, setelah beberapa waktu lamanya terlihat sangat menyedihkan.
"Kei, boleh aku bicara tentang Kenshin?"
Keiko mengangkat wajahnya. "Apa yang ingin kau katakan?"
"Bahwa kau tak bisa terus-menerus seperti ini."
"Ini akan berlalu, Hajime."
Ucap Kei lemah.
"Ini akan berlalu jika kau berhenti mendramatisasi perasaanmu."
"Kau tidak tahu bagaimana rasanya."
Hajime tertawa, sinis.
"Oh, kau menguji perasaanku soal kasih tak sampai? Jangan memulainya, Kei. Yang kurasakan melebihi apa yang kaurasa."
Kei menghela napas. Menatap cangkir teh yang belum ia sentuh.
"Bukankah kenyataan telah menjawab bahwa seharusnya kalian tidak bersama?" Tanya Hajime.
Kei melempar pandangan ke luar. Perlahan, wajahnya memerah.
"Sudahlah, aku tidak ingin membagi kepedihan ini. Biarkan aku sendiri dalam masalah ini, dan jangan pernah bawa-bawa masalah ini. Kata-katamu itu membuatku suntuk."
"Kau tidak bisa selamanya berdiri di tempat yang sama. Waktu terus berjalan, dan bumi terus berputar. Katakan apa salahku, Kei? Salahkan aku karena terlalu mencintaimu? Bagaimana reaksimu jika kukatakan akan memberikan seluruh hidupku hanya untukmu? Apakan kau akan diam membatu?"
Hening, Kei sendiri pun tak tahu harus menjawab apa. Ia sadar, Hajime lah yang selama ini selalu ada untuknya, bahkan Rin pun selalu datang terlambat dari Hajime.
"Aku datang kepadamu bukan untuk menggantikan posisi Kenshin. Aku hanya ingin mencintai dengan tulus, apa adanya, jujur."
Kei termagu. Hajime memandang Keiko.
Sunyi.
*****
Salju masih membungkus malam. Jam digital menunjukkan angka 20.00. Kei belum ingin menutup layar laptopnya. Gadis itu sedang gelisah. Di pikirannya bergelayut ucapan-ucapan Hajime yang berusaha mendobrak benteng pertahanannya. Kei bangkit meninggalkan kehangatan ranjangnya. Ia duduk di ceruk jendela. Sinar matanya meredup menatap butiran salju di luar sana.
Kei menekan tombol play di CD player. Sayup-sayup suara khas Shin Jae dalam lagunya "tears are falling" keluar dari speaker.
Dingin tiba-tiba menghampiri tubuh ringkihnya. Ia menekuk kedua kaki merapat ke dada. Sebelah tangannya memeluk kaki, tangan yang lain mengukir sebuah nama di kaca jendela yang mulai mengembun.
Ken ....
Ia ingin melepas namun bayangan Ken selalu muncul tiba-tiba dalam radius pandangannya.
Kei masih termenung di ceruk jendela. Belum selesai Shin Jae menamatkan nyanyiannya, ketika bunyi denting dari gadget membuyarkan lamunannya. Ada email masuk. Kei meraih gadgetnya. Dibukanya inbox email. Dibacanya baris-baris pesan yang ditulis seseorang untuknya.
Dear Kei
Semestinya kita tak perlu jatuh cinta, jika akan patah hati setelahnya.
Tak perlu menantang hujan, jika pelangi tak pernah datang. Pernah mendengar itu? Kau melupakan hujan, melupakan pelangi yang sebenarnya akan datang jika matahari cepat-cepat melakukan pembiasan. Ah, konyol. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu waktu itu.
#ckleak...
Tanpa Kei sadari ada seseorang yang tiba-tiba saja membuka pintu kamarnya.
"Kau belum melupakan perasaanmu yang kau ibaratkan sebagai air terjun itu bukan?"
Kei baru menyadari kedatangan seseorang begitu mendengarnya mengucapkan sesuatu. Ia menoleh. Dalam sekejap tubuhnya terguncang. Kei membekap mulutnya berusaha meredam suara isaknya. Ia berdiri, euforianya tercipta bagaikan mimpi. Ia tak percaya Ken kembali.
"Ken ...." Senyuman yang tak pernah berkurang seinci pun itu, suaranya, bualan konyolnya, tawanya, semua darinya kembali hadir dalam tatap nyata yang tak pernah ia sangka sebelumnya.
"Kk ... Kau..."
Kenshin, lelaki bersweater abu dengan aksen putih di lengannya, dan levis putih itu tersenyum lebar merentangkan kedua tangannya.
"Ya, aku kembali."
Antara mimpi dan kenyataan bercampur menjadi satu. Terangkai dalam 'dejavu.
Kei tak ingin kembali kehilangan meski saat ini mungkin yang ia alami adalah mimpi. Kei tak akan melepasnya lagi.
"Bukankah kau sudah ...,"
"Mati?" Kenshin terkekeh kecil, diacak-acaknya rambut Kei yang telah lama hilang dari indra perabanya.
"Buktinya, aku masih ada"
"Lalu ...."
"Kau percaya pada mereka?" Kei tertawa sumbang. Ia merasa bodoh mengingat tindakannya yang sangat mudah mempercayai ucapan Hajime dan Rin sebelum membuktikannya.
"Maaf, aku tak sempat membalas email-emailmu."
"Tak masalah, asal kau membayarnya semuanya"
Malam itu Ken mengajak Kei berjalan-jalan melepas kerinduan. Kei memandangi pesona lampu-lampu jalanan dan gedung-gedung di malam itu. Rasanya seperti kerlap-kerlip yang sering ia lihat saat menatap Kenshin.
Perbincangan menghangatkan suasana, melupakan salju yang berkoloborasi dengan embusan angin dinginnya. Malam itu terbayar sudah pahitnya perjalanan keduanya dalam merajut sebuah rasa. Kini Kei tak takut lagi untuk menantang hujan, karena tak selamanya pelangi dapat memberikan keindahan. Ia yakin, ada keindahan lain selain pelangi di balik hujan. Begitu pun dengan Kenshin yang tak pernah menyalahkan cinta sesudah pun sebelum mengenalnya. Ia yakin cinta akan selalu membuatnya bahagia.
Kenshin dan Keiko larut dalam euforia yang telah lama tak menjamah keduanya.
#The_End ....
Salatiga, 04 January 17
At 10:37 pm,
#PS: "Bersamaan dengan berakhirnya cerita. Akan kuakhiri juga semuanya .... Tentang rasa,"
*Faqih Nazhat Afza
EmoticonEmoticon