Aya Afza
27 Des 2016
Taman kota menyisakan sedikit tempat untuk mencipta kesedihan. Umumnya kesedihan dan kepedihan perlahan menyurut seperti barisan pepohonan rindang yang rapi memagari jalan setapak berkelok-kelok. Setapak itu menghubungkan taman-taman di pinggir kolam air yang berpusaran dipersimpangan jalan. Bunga- bunga bermekaran menyambut musim semi. Matahari bersinar mengiringi burung-burung merpati yang beterbangan atau sekedar menapakkan kaki mungil mereka sejenak pada daratan, merasakan lembutnya susunan rerumputan kemudian kembali pergi terbang bebas sebebas embusan angin di bumi.
Ken berdiri di tepi kolam, sendirian. Ia merenungi gemercik air yang ia dengar pun dengan sayup-sayup keadaan di sekitar. Sore ini ia akan mengakhiri kisah cintanya, mungkin.
Sebelum penerbangan terakhir ke negri gingseng diambilnya ia harus bertemu Kei secepatnya. Irama musik mozzart dari headset yang tersambung pd MP4 di saku celana, megiringi langkah kakinya yang terayun mendekati bangku taman begitu tatap matanya bertaut dengan pemilik sepasang mata coklat elegant yang hingga saat ini masih berhasil membuat gemuruh rasa di hatinya, Keiko. Gadis pualam itu tampak acuh sedikit pun tak ingin mengenal Ken yang berusaha mengembalikan ingatannya.
"Tak perlu berlama-lama, apa yang ingin kau katakan padaku?" Ucapannya terdengar dingin menohok perasaan Ken yang selalu berharap Kei dapat kembali seperti dulu lagi.
Ia menarik napas panjang, menetralisir perasaannya yang tak karuan, setidaknya ia harus bisa membuat Kei mengingat mesiki hanya satu kata darinya.
"Aku hanya ingin mengunjungi ingatanmu"
"Tak perlu beromong kosong seperti ini, aku harus pergi!" Baru selangkah Kei hendak mengayunkan kaki dan dengan cepat pula Ken mencegahnya untuk tidak pergi. Genggaman erat pada pergelangan tangan Kei membuatnya mengurungkan diri untuk pergi. Kei melengos, sedikit pun ia tak ingin menatap wajah Ken yang baginya membosankan itu. Sudah beberapa minggu setelah kesadarannya pulih, Ken selalu mengikuti kemana pun ia pergi.
"Baiklah.... Aku tak akan memintamu untuk menatapku atau pun mengeluarkan sepatah kata dari bibirmu...."
"Singkirkan tanganmu dari tanganku!"
Ken melepaskan genggamannya. Sementara Kei dengan cepat melipat tangannya di dada.
"Kei...."
Desiran angin menciptakan hening di antara keduanya. Seolah semua mati hanya ada dua insan yang tegah berlaga menemukan jati diri mereka yang sesungguhnya.
"Yaa kau benar, jika ibarat cintamu seperti kupu-kupu yang terbang bebas namun tak dapat menjaga. Aku sadar, ketika kuibaratkan cintaku seperti burung yang menjaga sarangnya, aku salah besar karena sampai detik ini ... Aku gagal untuk membuktikan ucapanku, aku salah besar, aku tak dapat menjagamu ...."
#degh.... Kei terhenyak, ingatannya seperti melayang menemukan titik terang dari ucapan Ken barusan. Dengan ragu, di tatapnya Ken yang sedari tadi tak melepas pandangannya dari Keiko. Sengaja. Karena ia ingin saat Kei menoleh padanya, Ken tak mau Kei melihat dirinya memalingkan wajah dari Kei. Karena ia cinta, karena ia peduli, karena ia tak ingin kehilangan Kei selamanya.
"Semua pemikiranku tentang pengibaratan-pengibaratan konyol itu telah berubah. Kecuali satu.... Hujan."
Arakan mendung berjalan cepat memenuhi angkasa. Mendung menggantung manja di langit sana.
"Rasaku akan tetap sama .... Meski tekadku bulat untuk mengakhirinya namun jiwaku selalu memberontak tak ingin melepas semua. Rasaku padamu tetap sama .... Sama seperti saat pertama kita jumpa, ketika hujan tak berhenti mengguyur bumi dengan curahnya. Dan aku takkan berhenti mengagumimu dengan cinta. Seperti katamu dalam surat tempo lalu, jika cintamu seperti hujan yang tak berhenti. Mungkin aku akan mengibaratkan cintaku seperti air terjun yang lebih deras curahnya."
Kei masih bergeming mencoba mengingat namun terlalu sakit untuk dapat teringat kembali, luka di kepalanya benar-benar membuatnya tersiksa.
"Ah .... Seperti katamu, aku terlalu banyak membual. Baiklah .... Maaf jika aku terlalu lama berbasa basi, aku hanya ingin berpamitan, sore ini aku harus terbang ke Seoul. Jaga dirimu baik-baik Keiko...."
Kenshin melangkah pergi. Ia menepati janjinya pada keiko yang tak mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya. Alunan Mozzart mengiringi langkah terberatnya. Miris, menyayat perasaannya yang tengah lara. Keputusan terbaikkah ini ? Batinnya bertanya-tanya. Antara mengejar cintanya di bumi sakura atau meneruskan wasiat kakeknya yang tinggal di korea, menjadi seorang tentara. Dan keputusannya jatuh pada pilihan kedua.
"Maafkan aku .... Keiko,"
EmoticonEmoticon