Aya Afza
26 November pukul 11:13 ·
Kei baru saja menyelesaikan balasan surat yang akan ia berikan pada Ken. Ia ingat betul perasaannya ketika itu sangatlah hancur lebur. Dilema yang dirasakannya sungguh mengkoyak hati. Luka yang dalam bersama jerit kebisuan tak lagi mendapat pengobatan yang biasanya ia dapat dari Rin. Rin telah berubah 360 derajat dibagi 2 ia berbalik tak lagi sama. Yang ia sayangkan, mengapa tidak sedari dulu Rin berkata jujur tentang perasaannya pada Ken. Jika ia tahu Rin menyukai Ken,
Kei pun takkan mungkin mau menerima semua ajakan Ken untuk bersua dengannya meski sekedar berjalan beriringan dalam kebisuan, ia tak kann mau. Sungguh, Kei tak akan mau.
"Kei ...." Sapaan yang tak lagi terdengar hangat itu membuatnya terburu-buru menyembunyikan surat untuk Ken.
"Tak perlu kau sembunyikan, aku juga sudah tahu semuanya" kecam Rin datar.
"Rin .... Apa yang kutulis tak seperti yang kau pikirkan"
"Apalagi ....? Semua sudah jelas kalau kau akan memilih Ken daripada sahabatmu sendiri" cecar Rin tak mau kalah
"Rin .... Bukan itu maksudku, ayolah dengarkan aku ...,"
Tanpa kata Rin beranjak pergi begitu saja. Jelas, perbuatan Rin yang kekanakan itu membuat Kei semakin larut dalam luka. Tanpa pikir panjang dikejarnya Rin yang berlari menuju gerbang sekolah. "Rin...!!" Teriakan Kei tak lagi dihiraukan. Cinta telah menutupi akal sehatnya.
"Kei!!"
"Ken...." Kei tersekap dalam genggaman erat Ken. Lelaki itu tak ingin melepaskan Kei dari genggamannya.
"Aku harus mengejar Rin"
"Kau tidak perlu mengejarnya"
"Tapi aku harus" dilepasnya genggaman erat Ken dari lengannya. Kei kembali berlari, mengabaikan berpasang-pasang mata yang menatap nya penuh heran, mengabaikan teriakan Ken yang sarat akan kehilangan.
"Rin.....!!!"
Ciiiiiiiittt..... DUAK!!!!
Bumi bergoyang, apakah telah terjadi gempa? "Kei...!!" Sayup-sayup teriakan histeris diiringi isak tangis terdengar. Ada sesuatu yang hangat namun basah yang mengalir dari pelipisnya. Dan kemudian semuanya lenyap dalam gelap.
26 November pukul 11:13 ·
Kei baru saja menyelesaikan balasan surat yang akan ia berikan pada Ken. Ia ingat betul perasaannya ketika itu sangatlah hancur lebur. Dilema yang dirasakannya sungguh mengkoyak hati. Luka yang dalam bersama jerit kebisuan tak lagi mendapat pengobatan yang biasanya ia dapat dari Rin. Rin telah berubah 360 derajat dibagi 2 ia berbalik tak lagi sama. Yang ia sayangkan, mengapa tidak sedari dulu Rin berkata jujur tentang perasaannya pada Ken. Jika ia tahu Rin menyukai Ken,
Kei pun takkan mungkin mau menerima semua ajakan Ken untuk bersua dengannya meski sekedar berjalan beriringan dalam kebisuan, ia tak kann mau. Sungguh, Kei tak akan mau.
"Kei ...." Sapaan yang tak lagi terdengar hangat itu membuatnya terburu-buru menyembunyikan surat untuk Ken.
"Tak perlu kau sembunyikan, aku juga sudah tahu semuanya" kecam Rin datar.
"Rin .... Apa yang kutulis tak seperti yang kau pikirkan"
"Apalagi ....? Semua sudah jelas kalau kau akan memilih Ken daripada sahabatmu sendiri" cecar Rin tak mau kalah
"Rin .... Bukan itu maksudku, ayolah dengarkan aku ...,"
Tanpa kata Rin beranjak pergi begitu saja. Jelas, perbuatan Rin yang kekanakan itu membuat Kei semakin larut dalam luka. Tanpa pikir panjang dikejarnya Rin yang berlari menuju gerbang sekolah. "Rin...!!" Teriakan Kei tak lagi dihiraukan. Cinta telah menutupi akal sehatnya.
"Kei!!"
"Ken...." Kei tersekap dalam genggaman erat Ken. Lelaki itu tak ingin melepaskan Kei dari genggamannya.
"Aku harus mengejar Rin"
"Kau tidak perlu mengejarnya"
"Tapi aku harus" dilepasnya genggaman erat Ken dari lengannya. Kei kembali berlari, mengabaikan berpasang-pasang mata yang menatap nya penuh heran, mengabaikan teriakan Ken yang sarat akan kehilangan.
"Rin.....!!!"
Ciiiiiiiittt..... DUAK!!!!
Bumi bergoyang, apakah telah terjadi gempa? "Kei...!!" Sayup-sayup teriakan histeris diiringi isak tangis terdengar. Ada sesuatu yang hangat namun basah yang mengalir dari pelipisnya. Dan kemudian semuanya lenyap dalam gelap.
EmoticonEmoticon